Ndeso!! Sepintas
kata-kata itu adalah sebuah konotasi negatif yang sudah sangat akrab di telinga
kita, seringkali terucap kala bercanda ataupun berselisih dengan orang lain. Ndeso
atau kata panjangnya “dasar orang desa” sering terdengar dalam komunitas
orang-orang menengah ke atas yang tentu sudah merasa memiliki budaya yang
berbeda dengan orang desa, istilah singkatnya sudah “modern”. Sebenarnya, paham
gak sih mereka dengan budaya-budaya atau kebiasaan orang desa, saya yakin
tidak, hehehe. Mungkin hanya di permukaan saja, seperti gaya berpakaian,
pikiran yang masih kolot dan ekonomi yang masih tertinggal. Tapiii.. jangan
bilang kualitas otak atau IQ orang desa dibawah orang kota, (wuih wong deso
sombong iki, hahaha). Saya berbicara seperti itu, karena saya sudah merasakan
hidup di kota besar dan di desa (karena saya orang desa).
“Kota” point plusnya
hanya di infrastruktur, pembangunan ekonomi serta fasilitas-fasilitasnya yang
lengkap, dan lagi ditambah dengan “indahnya lampu-lampu
pada saat malam hari”
(itu kata orang desa, hehehehe). Pengen ini pengen itu serba lengkap, mau
berobat ataupun mau mencari obat dari yang tak manjur sampai super manjurpun
ada, administrasi untuk memperoleh pelayanan kesahatan pun tidak susah dan
kualitas pendidikan serta sarana dan prasarana yang lengkap. Nah, hal itulah
yang “belum” ada di desa. Lohhh, kota juga point negatifnya salah satunya free
polusi, free kejahatan, orang-orangnya banyak yang individual, kesenjangan
ekonomi masyarakatnya sangat keliahatan, dan sebagainya.
Karena saya pernah hidup di dua tempat itu, saya sangat paham bagaimana kebahagiaan atau enaknya hidup di dua tempat itu. Saya sarankan, jika anda butuh keseimbangan dalam kesejahteraan hati dan kesejahteraan ekonomi, maka hiduplah di desa. Kenapa demikian? Dari pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan sosial masyarakatnya, menurut saya desa lebih unggul daripada kota. Orang-orang miskin di kota sangatlah berbeda dengan orang miskin di desa. Semiskin-miskinnya orang desa, mereka tidak akan sampai mengemis. Tapi jika anda ke kota, maka anda akan melihat banyak sekali pengemis ataupun gelandangan dimana-mana. Orang desa di tempat saya tinggal, hidupnya ya begitu-begitu saja, makan hasil tani sendiri, apa-apa yang perlu dibeli lebih sering ngutang, butuh uang dengan jumah tinggi ya ngutang dulu, baru kalo hasil panen tembakau atau bawang mereka mujur alias “untung”, mereka bisa melunasi hutang mereka. Tiap hari mungkin bisa dibilang mereka selalu membaca hutang-hutang mereka dalam tanda kutip “hutang yang mereka anggap banyak, bagi orang kota saya yakin itu tidak banyak” karena memang kebutuhan orang desa yang selalu “qona’ah” atau tidak berlebihan itu lebih sedikit ketimbang orang kota. Point sangat plusnya, mereka hidup ya seperti itu, “kebutuhan ekonominya” hanya tiga kata “ngutang-untung-kembali”, tapi kehidupan sosialnya yang sangat akrab satu sama lain, mudah gotong royong dan tingkat kepeduliannya sangat tinggi. Yaa.. hanya seperti itu, tapi mereka masih bisa menyekolahkan anak-anak mereka sampai ke jenjang kuliah, memenuhi semua kubutuhan mereka secara pelan-pelan, istilahnya tidak instan. Saya pernah dengar “sesuatu yang anda peroleh dengan instan, maka anda akan cepat kehilangan itu dengan cara instan pula”. Kita orang desa bolehlah ketinggalan dalam segi ekonomi tapi pendidikan insyaallah tidak, sudah banyak buktinya. Jadi, berbanggalah anda menjadi orang desa yang mau berfikir dan selalu memanfaatkan apa yang menjadi kelebihan anda. ^_^
No comments:
Post a Comment